Potret Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat

Kasus Johar Baru

1. Peta Geografi

Johar Baru terletak di Jakarta Pusat dan merupakan satu Kecamatan dari hasil pemekaran Kecamatan Cempaka Putih. Ia terbagi kepada 4 (empat) kelurahan yaitu Johar Baru, Kampung Rawa, Tanah Tinggi, dan Galur. Kecamatan Johar Baru mempunyai Rukun Warga (RW) sebanyak 40 RW, dan Rukun Tetangga (RT) sebanyak 558 RT.kumuh1

Kecamatan Johar Baru, mempunyai luas wilayah 238,16 hektar, dengan jumlah penduduk yang tercatat sebanyak 110.700 jiwa, dan kepala keluarga sebanyak 27.356.

Dari jumlah penduduk tersebut, laki-laki sebanyak 59.589 jiwa, dan perempuan 48.458 jiwa. Dengan luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut, maka tingkat kepadatan penduduk dikawasan itu rata-rata 45.398/km2.

Kecamatan Johar Baru tidak luas wilayahnya. Di sebelah utara dibatasi oleh Jalan Letjen Suprapto, disebelah Selatan dibatasi Jalan Percetakan Negara, sedang di sebelah Barat dibatasi Rel Kereta, dan di sebelah Timur dibatasi oleh Jalan Pangkalan Asem dan Jalan Mardani.

Kawasan Konflik

Johar Baru merupakan salah satu kecamatan di Jakarta Pusat dengan tanah tinggi, johar baruluas wilayah 237,39 hektar atau 2.37 kilometer. Jumlah penduduknya dalam sensus 2010 mencapai 108.047 jiwa, sehingga tingkat kepadatan penduduk sekitar 45.514 iwa/Km2.

Kondisi demikian, menempatkan Johar Baru dengan 4 (empat) kelurahan dan 40 Rukun Warga (RW) sebagai kecamatan terpadat se-Indonesia bahkan ada yang menyebut se-Asia Tenggara. Walaupun ada yang mengatakan bahwa kecamatan terpadat adalah Tambora.

Situasi dan kondisi semacam itu, menimbulkan banyak permasalahan yang kemudian menjadi kawasan konflik yang tidak ada habis-habisnya di antaranya disebabkan:

1) Lingkungan padat dan kumuh

Bukan rahasia umum lagi bahwa sebagian kecamatan Johar Baru tergolong padat dan kumuh. Tugiran, Wakil Kepala Kepolisian Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat, mengemukakan adanya 11 (sebelas) titik yang rawan tawuran di kawasan tersebut. Lokasi yang paling sering tawuran ialah di Jalan T RW 02 Kelurahan Kampung Rawa, Kota Paris, Kelurahan Tanah Tinggi 12, dan Pasar Gembrong, Kelurahan Galur.

BPS mencatat setidaknya terdapat 12 lokasi kumuh di empat kelurahan di Johar Baru, yaitu:
1. Kelurahan Johar Baru, lokasi yang kumuh: RW 01, dan 02.

tanah tinggi,johar baru
tanah tinggi,johar baru

2. Kelurahan Kampung Rawa, lokasi yang kumuh: RW 02, 03, 04 dan 06.
3. Kelurahan Galur, lokasi yang kumuh: RW 04, dan 7.
4. Kelurahan Tanah Tinggi, lokasi yang kumuh: RW 04, 08, 09, dan 12.

Dalam penelitian yang dilakukan Yayasan Lembaga Pemberdayaan Sosial dan Demokrasi pada tahun 2011 terdapat temuan menarik yaitu kawasan yang sering tawuran (konflik) berkaitan erat dengan lingkungan sosial yang kumuh dan padat. Semakin padat dan kumuh lokasi yang ditempati warga, semakin sering terjadi tawuran (konflik) di kawasan itu.

Hal tersebut dapat dipahami, karena dari aspek lingkungan hidup, lingkungan yang padat dan kumuh, sejatinya tidak mampu mendukung mobilitas warga secara normal, sehingga masyarakat yang mendiami kawasan itu, bersifat temperamental dan mudah marah.

2) Pendidikan rendah

Masalah kedua yang dihadapi masyarakat Johar Baru ialah mayoritas dari kalangan mereka berpendidikan tamat sekolah dasar (SD) dan tidak tamat sekolah menengah pertama (SMP). Dampak pendidikan rendah, sangat sulit bagi mereka untuk diterima bekerja di pemerintahan sebagai PNS atau di perusahaan swasta. Kalaupun terbuka peluang untuk bekerja di kedua sektor tersebut, sangat terbatas jumlahnya yang bisa diterima untuk bekerja. Paling terbuka hanya menjadi satpam, office boy (pesuruh) dan tukang kebun. Satu-satunya sektor yang bisa dimasuki ialah menjadi wirausaha kecil dan mikro.

Akan tetapi, kendalanya sangat besar bagi mereka untuk berkiprah disektor usaha mikro dan kecil. Pertama, tidak memiliki tempat untuk berusaha dan tidak mempunyai kemampuan untuk menyewa tempat berdagang. Kedua, tidak mempunyai modal kerja dan modal usaha. Ketiga, belum mempunyai kepakaran (keahlian) untuk berusaha. Keempat, tidak mempunyai izin untuk berusaha. Kelima, tidak mempunyai jaringan untuk mengembangkan usaha.

Selain itu, faktor kebijakan pemerintah yang tidak adil dengan membiarkan persaingan bebas bagi pengusaha besar, menengah dan kecil. Akibatnya, berlaku hukum rimba, yang kuat memangsa yang kecil. Seharusnya, ada perlindungan dan special treatment (perlakuan khusus) kepada pengusaha kecil, mikro dan koperasi, misalnya mereka diberi order pekerjaan dari pemerintah untuk menyediakan seluruh keperluan barang (pengadaan) yang berskala kecil supaya mereka bisa memupuk modal dan meningkatkan kemampuan manajemen dalam berusaha.

Disamping itu, pemerintah wajib memberi tempat berusaha yang baik kepada mereka dilokasi yang strategis, memberi modal kerja dan modal usaha dengan suku bunga yang rendah dengan jaminan (agunan) dari pemerintah, diberi pelatihan usaha dan pemasaran, izin usaha, dan semua yang mereka perlukan untuk berkembang maju.

Rahmat Gobel, seorang pengusaha besar, ketika saya bertemu dalam acara peluncuran lembaga CORE Indonesia (28/10/2013) yang dipimpin Ibu Dr. Hendri Saparini, mengemukakan bahwa mereka yang kurang pendidikan bisa dilatih sehingga memiliki skill (kepakaran) dalam bekerja, termasuk dalam berusaha. Masalahnya, apakah pemerintah atau swasta mau melakukannya, atau hanya mau gampangnya tidak mau susah mendidik mereka supaya memiliki kepakaran.

3) Pengangguran

Rendahnya pendidikan menyebabkan banyak masyarakat di Johar Baru sulit mendapatkan pekerjaan. Generasi muda tidak mudah memperoleh pekerjaan. Selain masalah yang disebutkan diatas yaitu faktor pendidikan, juga citra negatif Johar Baru sebagai kawasan yang sangat sering tawuran {konflik}, sehingga mereka yang berpendidikan SMA atau universitas, mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan karena perusahaan yang akan mempekerjakan tenaga kerja (buruh) tidak mau mengambil resiko, menerima pekerja yang bertempat tinggal dikawasan yang suka tawuran karena dikhawatirkan memiliki budaya tawuran.

Dengan demikian, dari aspek pekerjaan, mereka yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran, memikul beban psikologis dan ekonomi. Beban psikologis, terdapat perasaan kurang berguna dan bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat, serta malu menyandang sebagai pengangguran.

Selain itu, secara ekonomi menimbulkan masalah besar, karena tidak bisa menghasilkan uang untuk diri sendiri apalagi kalau sudah berkeluarga. Tidak sedikit kaum muda melajang karena tidak berani kawin lantaran tidak mempunyai pekerjaan (penganggur). Juga sangat banyak kasus, keluarga yang sudah dibangun menjadi berantakan, lantaran menjadi pengangguran, sehingga tidak bisa memberi kehidupan keluarga.

Oleh karena itu, jika ada persoalan sekecil apapun, mudah meletup menjadi konflik. Dari persoalan pribadi, keluarga, tetangga, bisa melebar menjadi konflik antar warga, karena ada solidaritas dari setiap warga yang memiliki persoalan yang hampir sama, sehingga bersatu secara emosional melampiaskan kekesalan dalam bentuk konflik.

4) Kemiskinan

Dampak lanjutan dari pengangguran, menyebabkan tingkat kemiskinan sangat tinggi. Pemerintah melalui BPS menyebutkan tingkat kemiskinan di DKI Jakarta terus mengalami penurunan. Namun dalam kenyataan jauh panggang dari api.

Dalam pertemuan saya dan kawan-kawan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 16 Agustus 2013, saya menanyakan jumlah penerima Kartu Jakarta Sehat (KJS) sebanyak 4,7 juta orang. Dia menjawab bahwa 4,7 juta adalah jumlah orang miskin yang berhak menerima pengobatan gratis di DKI Jakarta.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mengemukakan bahwac data kemiskinan di DKI Jakarta terus mengalami penurunan.

Data yang dikutip dari sumber BPS DKI Jakarta, cukup membesarkan hati karena meningkatnya jumlah orang yang tidak miskin, berarti berkurangnya jumlah orang miskin di DKI Jakarta. Akan tetapi, menimbulkan pertanyaan. Pertama, data BPS diatas menunjukkan jumlah keseluruhan penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 354,77 orang. Jumlah tersebut patut dipertanyakan, karena jumlah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak sinkron dengan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yang dikemukakan BPS.

Kedua, batas miskin atau garis kemiskinan menurut BPS pada September 2012 sebesar Rp 392.571, telah mengalami kenaikan pada Maret 2013 menjadi Rp 407.437/bulan. Batas miskin atau garis kemiskinan seperti itu, tidak realistis karena biaya hidup di DKI Jakarta sangat tinggi. Kalau berpenghasilan sebesar Rp 407.437/bulan atau berpenghasilan Rp 13.581/hari, berarti sudah tidak termasuk penduduk miskin, tidak sesuai dengan kenyataan di masyarakat.

Menurut Dr Hendri Saparini (30/9/2013) tingkat inflasi semua jenis sembako dalam 5 (lima) tahun terakhir adalah sebesar 60 persen. Berarti tingkat inflasi pertahun mencapai 12 persen. Inilah yang menyebabkan orang-orang miskin semakin menderita hidup mereka, Sembako terus meningkat harganya, sementara penghasilan orang-orang miskin tidak bertambah.

Ketiga, pengasilan Rp 13.581/hari jauh dari cukup. Untuk naik kendaraan umum dari tempat tinggal ke tempat kerja di DKI Jakarta, minimal dua kali ganti kendaraan umum. Kalau ongkos kendaraan umum (misalnya naik TransJakarta a Rp 3.500 x 2 x 2 kali pulang pergi (PP), sudah menghabiskan biaya Rp 14.000/hari. Belum makan, tidak mungkin dalam sehari hanya makan sekali, biaya listrik, sewa rumah kalau belum punya rumah, belum lagi jika sudah berkeluarga. Dengan batas miskin atau garis kemiskinan sebesar 2 dolar Amerika Serikat dengan kurs 1 dolar Rp 12.000, berarti Rp 24,000/hari, masih sangat berat untuk hidup di DKI Jakarta.

Mereka yang mengalami kesulitan hidup tidak saja penduduk miskin yang bekerja serabutan, bekerja di sektor informal, dan menganggur, tetapi juga pegawai rendahan di swasta dan di pemerintah seperti PNS golongan I/a bergaji 1,32 juta. Jumlah gaji yang diterima setiap bulan kedengarannya besar, tetapi sebenarnya tergolong kecil karena pada umumnya PNS bertempat tinggal di luar DKI Jakarta. Gaji yang mereka terima, habis terkuras untuk biaya transportasi pergi dan pulang dari tempat tinggal ke tempat kerja di DKI Jakarta.

5) Kerusakan Moral

Pemuda dan remaja yang tinggal di kawasan padat di Johar Baru, sejak kecil telah terbiasa hidup di luar rumah. Oleh karena itu, pendidikan di dalam rumah sangat minim. Pengaruh lingkungan pergaulan dan di masyarakat lebih dominan mempengaruhi kehidupan pemuda dan remaja.

Dalam penelitian tawuran (konflik) tahun 2011 yang kami lakukan di Johar Baru, ditemukan tingkat kerusakan moral para pemuda dan remaja di kawasan itu sudah mengkhawatirkan. Merajalela minuman keras (miras), dan diduga Narkoba telah dikonsumsi sebagian pemuda dan remaja.

Akibatnya, kawasan Johar Baru, sangat rawan konflik karena dipengaruhi setidaknya lima faktor yang disebutkasn di atas. Persoalan kecil saja, bisa menimbulkan emosi dan kerumunan massa yang meletupkan konflik sosial. Contoh konflik di Johar Baru berikut ini.

Sumber: https://www.google.com/search?q=konflik+di+Johar+Baru

Sumber photo https://www.google.com/search?q=Tawuran+warga+di+Johar+Baru,
Berikut ini dikemukakan peta konflik di Johar Baru Jakarta Pusat sebagai berikut:
Tabel 12

Peta Konflik Sosial di Johar Baru, Jakarta Pusat

No. Lokasi Konflik Pelaku Keterangan

1. Pertigaan Gang T Jalan Rawa Sawah IV, perbatasan RW 03 Kelurahan Kampung Rawa dengan RW 02 Kel. Johar Baru. Warga RW 03 Kel. Kampung Rawa dengan warga RW 02 Kel. Johar Baru. RW 03 terdiri dari 15 RT. Kel. Kampung Rawa, dan RW 02 terdiri dari 15 RT Kel. Johar Baru.

2. Perbatasan RW 01 Kel. Johar Baru dengan RW 08 Kel. Johar Baru, Jalan Kramat Jaya Baru. Warga RW 01 Kel. Johar Baru dengan warga RW 08 Kel. Johar Baru. RW 01 terdapat 14 RT. Dan RW 08 terdiri dari 18 RT Kel. Johar Baru.

3. Jalan Kramat Sentiong Lintasan Kereta Api, Johar Baru. Warga RW 08 Kel. Johar Baru dengan warga RW 010 Kel. Tanah Tinggi. RW 08 terdiri dari 18 RT Kel. Johar Baru, dan RW 010 terdiri dari 15 RT Kel. Tanah Tanggi.

4. Tertigaan jalan Tanah Tinggi IV RW 07 Kel. Tanah Tinggi dengan jalan Tanah Tinggi XII RW 012 Kel. Tanah Tinggi. Lokasi tawuran antara warga RW Gang X RW 07 Kel. Tanah Tinggi dan gang XII RW 012 Kel. Tanah Tinggi. , Warga RW 07 dengan warga RW 012 Kel. Tanah Tinggi RW 07 terdiri dari 22 RT, dan RW 012 sebanyak 12 RT Kel. Tanah Tinggi.

5. Jalan Kramat Gundul samping SMK Jalan Jembatan Besi, Johar Baru, Warga RW 09 Kel. Tanah Tinggi dengan warga RW 013 Kel. Tanah Tinggi. RW 09 sebanyak 14 RT dan RW 013 terdiri dari 16 RT Kel. Tanah Tinggi.

6. Perempaatn jalan Baladewa dan Kota Paris RW 011 Kel. Tanah Tinggi dengan RW 05 Kel. Tanah Tinggi. Warga RW 011 Kel. Tanah Tinggi dan warga RW 05 Kel. Tanah Tinggi. RW 011 sebanyak 17 RT, dan RW 05 sebanyak 16 RT Kel. Tanah Tinggi.

7. Depan Masjid Nur Aini, Jalan Rawa Sawah III Warga RW 02 dan warga RW 03 Kel. Kampung Rawa RW 02 terdiri dari 13 RT dan RW 03 sebanyak 15 RT Kel. Kampung Rawa.

8. Pertigaan Pasar Gembrong RW 03 Kel. Galur dengan RW 06 Kel. Kampung Rawa. Warga RW 03 Kel. Galur dengan warga RW 06 Kel. Kampung Rawa RW 03 terdiri dari 12 RT. Ke. Galur, sedang RW 06 terdiri dari 10 RT Kel. Kampung Rawa.

9. Jalan Rawa Tengah perbatasan pondokan Jawa RW 07 Kel. Galur dengan warga RW 01 Cempaka Putih Barat. Warga RW 07 Kel. Galur dengan warga RW 01 Kel. Cempaka Putih Barat RW 01 terdiri dari 11 RT Kel. Galur.

10. Jalan Tanah Tinggi Rel K.A. Lokasi tawuran warga antara RW 01 Kel. Tanah Tinggi dan warga Kel. Bungur Kec. Senen. Warga RW 01 Kel. Tanah Tinggi dengan Kel. Bungur Kec. Senen. RW 01 terdiri dari dari 15 RT Kel. Tanah Tinggi.

11. Pertigaan Pangkalan Asem perbatasan Rawa Tengah dengan Kel. Harapan Mulya. Warga RW 07 Kel. Galur dengan warga Kel. Harapan Mulya, Kec. Kemayoran. RW 07 terdiri dari 11 RT Kel. Galur.

Konflik sosial di Johar Baru, semuanya terjadi pada lokasi yang padat penduduknya, kumuh dan miskin. Konflik warga sewaktu-waktu terjadi antar satu Rukun Tetangga (RT) dengan Rukun Tetangga (RT) dalam satu Rukun Warga (RW) dalam satu kelurahan seperti konflik yang pernah terjadi di Jalan Kramat Sentiong Lintasan Kereta Api, Johar Baru.

Akan tetapi, ada pula konflik yang terjadi antar satu Rukun Warga (RW) dengan Rukun Warga (RW) yang lain dalam satu kelurahan seperti yang terjadi di Perempatan jalan Baladewa dan Kota Paris Kel. Tanah Tinggi, Kec. Johar Baru.

Selain itu, sering pula terjadi konflik antar warga dari kelurahan yang berbeda seperti konflik di Jalan Rawa Tengah perbatasan pondokan Jawa RW 07 Kel. Galur dengan warga RW 01 Cempaka Putih Barat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemuda, generasi muda, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu yang mendiami kawasan padat dan kumuh di DKI Jakarta seperti Johar Baru dan kawasan lainnya, menghadapi komplikasi sosial ekonomi dan lingkungan hidup yang amat kompleks.

Konflik sosial yang mereka sering lakukan merupakan wujud dari bentuk pelampiasan atas banyak masalah yang dihadapi karena stress, frustrasi, apatis, dan hopeless, sehingga mudah marah dan beringas jika muncul persoalan sekecil apapun. Konflik sosial di Johar Baru sebagai studi kasus, dipetakan bahwa sangat berkaitan erat dengan persoalan lingkungan tempat tinggal mereka yang sangat padat sehingga shif-shifan tidur, pengangguran yang sangat tinggi, kemiskinan, pendidikan yang tidak memadai, dan kerusakan moral yang dialami generasi muda.

Penyelesesaian konflik sosial di DKI harus diurai mengapa mereka konflik dan diselesaikan satu persatu akar masalahnya. Kelemahan selama ini, hanya menyelesaikan konfliknya, tidak diselesaikan sumber utama dan akar masalah dari konflik itu sendiri. Selain itu, penyelesaian konflik bersifat sektoral, tidak berkesinambungan, tidak menyeluruh dan belum ada upaya maksimal untuk memotong lingkaran setan yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik sosial.

Dalam rangka pemetaan konflik sosial di DKI Jakarta, saya merekomendasikan untuk dilaksanakan secepatnya:

1) Pembangunan Kampung Deret vertikal di Johar Baru dan kawasan lain di DKI Jakarta yang padat dan kumuh sebagai solusi (pemecahan) dan jalan keluar (way out) untuk memecahkan tempat tinggal yang padat dan kumuh.

2) Untuk mengatasi tingginya pengangguran dan kemiskinan di kawasan padat dan kumuh di Johar Baru, dan di kawasan lainnya di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan yang kurang memadai, maka sebaiknya generasi muda dan masyarakat yang akan dibina dan dikembangkan, dimasukkan ke dalam Kem Motivasi (Motivation Camp) untuk dilatih dan dirobah mindset (cara berfikir), prilaku, serta budayanya, supaya bangkit, bersemangat dan mau maju untuk merubah nasib.

3) Untuk jangka pendek, mereka yang sudah mengikuti kem motivasi, dibuatkan proyek-proyek padat karya di lingkungan tempat mereka tinggal supaya masyarakat bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan.

4) Mereka yang sudah di didik dan dibina mental di Kem Motivasi dan sudah memiliki kesiapan mental untuk bekerja dan berbisnis, direkomendasikan untuk mengikuti latihan ketrampilan di Balai Latihan Ketrampilan (BLK) Pasar Rebo, DKI Jakarta, dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

5) Jika pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta serta tempat perdagangan dan promosi usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi sudah dibangun di bawah tanah kawasan Monas Jakarta Pusat, mereka mendapat prioritas untuk mendapat tempat berusaha.

6) Mereka yang sudah dididik dan dibina mental di Kem Motivasi, Sudin dan Dinas terkait di setiap wilayah Pemprov DKI Jakarta membentuk pilot project supaya mereka membangun berbagai jenis usaha (bisnis) yang diminati. Untuk mendorong kemajuan usaha mereka, pemerintah berkewajiba memberi special treatment (perlakuan khusus) kepada mereka dengan memberi order (pesanan), modal kerja dan modal investasi dengan suku bunga rendah, pelatihan, promosi, pembinaan dan pengawasan. Ini diperlukan supaya ada success story bagi setiap Sudin dan Dinas terkait dalam membangun masyarakat bawah, yang selalu di evaluasi kesuksesannya setiap awal tahun.

7) Untuk jangka menengah dan panjang dibangun pusat pelatihan kepakaran di kawasan tempat mereka tinggal untuk tempat pelatihan bekerja dan pelatihan berbisnis supaya masyarakat memiliki kepakaran yang diperlukan.

8) Dibangun Komisi Beasiswa yang merupakan integrasi dari berbagai lembaga pemberian beasiswa yang ada di DKI Jakarta untuk memaksimalkan bantuan beasiswa secara penuh kepada anak-anak dari kalangan yang kurang mampu untuk belajar di daerah lain dan bahkan di luar negeri. Pendidikan masyarakat di kawasan padat dan kumuh di DKI Jakarta seperti di Johar Baru, mayoritas tidak tamat dan hanya tamat SLTP. Bahkan di kelurahan Galur, Johar Baru, sekitar 84,15 % hanya berpendidikan paling tinggi SLTP. Dikelurahan ini sebesar 11,88 % berpendidikan SLA dan perguruan tinggi sebesar 3,97 %.

Kondisi tersebut amat memprihatinkan, karena mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia dan merupakan masa depan Indonesia. Untuk membantu dan mencarikan jalan keluar atas masalah tersebut, saya telah bertemu dan menyerahkan Draft Perda Pembentukan Komisi Beasiswa kepada semua Ketua Fraksi di DPRD DKI Jakarta.

9) Untuk mendayagunakan potensi dan modal sosial yang dimiliki masyarakat di DKI Jakarta dan kawasan padat seperti Johar baru, maka Masjid, Mushalla, Pengajian ibu-ibu, Gereja, Karang Taruna, dan berbagai organisasi yang ada di masyarakat, penyuluh agama, penyuluh sosial dan lain-lain, perlu mempartisipasikan mereka untuk memberi penyegaran, penyadaran, pemberdayaan dan pembinaan terhadap masyarakat dikawasan itu dalam rangka menciptakan keamanan bersama, mencegah tawuran, mewujudkan persaudaraan abadi, tolong-menolong, gotong-royong, , ketertiban dan lingkungan yang bersih dan sehat. Untuk menyamakan persepsi, pikiran, tujuan, dan langkah, maka direkomendasikan untuk dilakukan temu komunikasi dan konsultasi dengan kelompok-kelompok tersebut sebagai ajang silaturrahim dan pemberian bekal untuk melakukan misi pemberdayaan ditengah-tengah masyarakat di Johar Baru.


10) Dalam rangka memberdayakan dan memajukan masyarakat serta menciptakan ketahanan masyarakat di kawasan padat dan kumuh di DKI seperti Johar Baru, maka direkomendasikan supaya daerah-daerah itu dijadikan sebagai pilot project pembangunan yang berbasis masyarakat, yaitu dari masyarakat, oleh masyarakat dan masyarakat. Dengan pembangunan berbasis masyarakat, maka dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, yang didampingi sosiolog, pakar komunikasi massa, ekonom dan kriminolog sebagai motivator, pendamping dan mengawal untuk memastikan bahwa program untuk memajukan masyarakat dikawasan itu berjalan baik dan lancar.

Jakarta, 6 November 2013

Leave a comment